Skip to content
menu-toggle
menu-close

COVID-19: Cerita Dari Frontliner di Papua, Indonesia

Cerita dari Hana Krismawati, salah satu tim tenaga medis yang bekerja di laboratorium untuk mendeteksi COVID-19 di Papua, Indonesia.


Sudah hampir tiga bulan berlalu sejak kasus COVID-19 di Indonesia muncul ke publik. Para tenaga medis dan ahli teknologi laboratorium medis masih terus berjibaku sesuai keahlian mereka dalam melindungi masyarakat memerangi COVID-19. Per tanggal 2 Juni 2020, masih ada ratusan kasus baru yang ditemukan tiap harinya.

Kali ini, kami mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan salah satu tim tenaga medis yang bekerja di laboratorium untuk mendeteksi COVID-19 di Papua, Indonesia. Hana Krismawati, M.Sc, Lab Manager dan Principal Investigator dari Litbangkes Papua berbagi ceritanya tentang bagaimana kehidupan sebagai frontliner selama beberapa bulan terakhir ini menghadapi COVID-19.

 

Q: Bagaimana keadaan di Papua waktu pertama kali kasus COVID-19 ditemukan?

A: Sebenarnya begitu muncul kasus COVID-19 di Jakarta dan waktu orang-orang mulai menerapkan work from home, di minggu pertama pemerintah menyiapkan berbagai skenario dan protokol untuk kemungkinan-kemungkinan menghadapi COVID-19 ini. Instruksi selalu datang dari pemerintah pusat, yang lalu dilanjutkan ke pemerintah di provinsi dan daerah.

Nah, di minggu berikutnya, kami sudah mulai membuka menerima sampel untuk tes COVID-19. Di hari kedua setelah tes dibuka, ada 15 sampel yang masuk dan langsung ditemukan satu sampel positif. Itulah kasus pertama yang ditemukan di Papua. Kebetulan waktu menemukan sampel positif pertama itu, saya yang lagi dinas di laboratorium. Kasus pertama ini ditemukan dari orang yang sebelumnya menghadiri acara di Bogor kalau tidak salah. Maka dari itu, begitu kasus pertama muncul, Gubernur Papua langsung memutuskan untuk menutup bandara. Sejak saat itu, ya sampel terus berdatangan hingga saat ini.

 

Q: Lalu bagaimana keadaan masyarakat di Papua saat ini?

A: Sebelum kasus pertama itu ditemukan, masyarakat hidup normal saja, belum muncul crisis sense-nya di mereka. Saat ini peraturan Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih terus berjalan, bahkan beberapa minggu belakangan ini diperketat dengan masyarakat hanya boleh beraktivitas sampai jam 2 siang. Sebelumnya pembatasan aktivitas itu dibatasi sampai jam 6 sore. Waktu awal-awal masyarakat relatif lebih tertib. Tapi sekarang, kemacetan dan kerumunan massa mulai terlihat dimana-mana.

 

Q: Trend dari kasus positif sendiri di Papua apakah masih terus naik?

A: Justru sekarang grafik masih terus naik karena proses screening diperluas. Karena screening ditingkatkan, maka penemuan kasus juga jadi semakin banyak. Kami saat ini rata-rata menganalisis 200 sampel per hari, 4-25 diantaranya biasanya positif, seringnya diatas 10 kasus. Kebanyakan kasus ini juga jenis yang OTG, positif tanpa gejala.

 

Q: Dengan jumlah sampel yang masih begitu banyak setiap harinya, seperti apa kehidupan sehari-hari Kak Hana dan teman-teman di laboratorium saat ini?

A: Kami ini merasakan yang namanya normal baru. Sebetulnya kami adalah institusi penelitian, yang biasanya punya target dan ritme pekerjaan yang kita atur sendiri. Meskipun kita sudah sangat sering bertemu dengan assay, qPCR, molekuler, dan sequencing (metode deteksi yang digunakan untuk mendeteksi COVID-19), tetap saja ritme dan target pekerjaan kami sekarang sangat berbeda. Saat ini, kami bisa disebut sebagai lab diagnostik utama untuk COVID-19 di Papua, kami sangat bergantung dan mengikuti ritme dari keinginan institusi lain yang mengirim sampel ke kita. Misal kalau dulu kita punya 500 sampel, pengerjaannya kami yang bagi untuk beberapa bulan. Tapi saat ini, berapapun sampel yang masuk tiap harinya, harus habis di hari itu juga. Target pribadi kami adalah untuk menetapkan setiap hari harus nol antrian, supaya pasien yang positif cepat terdiagnosis dan ditindaklanjuti.

Siklusnya itu biasanya dibutuhkan waktu 8-10 jam untuk analisis sampel di laboratorium, lalu malam harinya kami memberikan laporan ke rumah sakit, dinas kesehatan, yang akhirnya akan di input ke database nasional. Efeknya ya kami jadi kerja jauh over time. Belum lagi kami harus menggunakan Alat Pelindung Dasar level 3, sesuatu yang harus kami biasakan untuk berpakaian hazmat selama 8 jam. Waktu awal-awal saat kami masih sebagai laboratorium rujukan tunggal di Papua, kami bisa masih terus bekerja sampai dini hari. Saat ini, kami sudah dibantu oleh beberapa laboratorium rujukan di daerah.

 

Q: Menurut Kak Hana, apa tantangan terbesar sebagai personel frontliner yang bekerja di lab?

A: Ada dua jenis tantangan menurut saya, yang pertama adalah tantangan dari diri personel sendiri. Kita harus selalu prima, memberikan performa yang terbaik, jaga keamanan, jaga kesehatan, dan selalu ceria apapun yang terjadi. Tantangan yang kedua adalah tantangan teknis logistik. Kami ini kan di Papua, daerah yang sehari-harinya juga bukan yang biasa dijangkau, ditambah lagi pembatasan akses masuk Papua sejak ditemukannya kasus COVID-19. Belum lagi peralatan dan material untuk tes COVID-19 ini bukan barang-barang yang bisa dibeli di warung sebelah atau dibuat di pabrik lokal seluruhnya. Kadang kita kebingungan kalau ada satu alat atau satu materi yang tiba-tiba habis, penyelenggaraan barangnya sulit. Yang biasanya supplier berebut menjual barang ke kita, kini juga kehabisan barang. Sedangkan kalau ada satu barang yang kurang, kita tidak bisa menjalankan tes.

 

Q: Dengan keterbatasan logistik seperti itu, bagaimana bantuan lapisan masyarakat yang lain, seperti dari pemerintah, perusahaan, donatur, dan lain sebagainya?

A: Bersyukurnya, kami di Papua ini saya lihat relatif kompak dari level Pemerintahan Papua pusat hingga di daerah. Kita banyak dibantu dari segi stok makanan sampai stok peralatan laboratorium. Contohnya waktu itu kita kehabisan reagen, laboratorium dari daerah langsung  memberikan stok mereka untuk kami. Kalau dari sisi perusahaan, donatur, filantropis, atau yayasan, kami juga banyak dibantu terutama untuk APD. Sampai saat ini, sepertinya kami belum pernah membeli APD dengan anggaran kami sendiri dan APD masih banyak distok kami. Kalau dari kementerian pusat seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kami dapat bantuan reagen. Bagi kami sebetulnya yang terbesar itu bukan soal barang-barangnya, tapi dukungan moral semangat dari mereka yang benar-benar kami rasakan dan berarti untuk kami.

 

Q: Selain dari tantangan dan kesulitan, apakah ada dampak positif juga dari bekerja di frontliner COVID-19 ini?

A: Kalau sisi negatif lainnya adalah kami jadi tidak bisa melakukan tanggung jawab pekerjaan kami sebagai peneliti, karena dari sisi anggaran dan tenaga semua dialokasikan untuk menghadapi COVID-19 ini. Tapi positifnya, di saat seperti ini saya sadar kalau saya betul-betul diberkati dengan tim dan rekan kerja yang sangat solid dan suportif. Kita disini bisa lihat secara langsung passion dari rekan kerja selama mengerjakan tugas ini. Dulu waktu normal, kita kebanyakan kerja di divisi masing-masing. Tapi saat ini, kita semua kompak mengerjakan satu tugas yang sama. Bagi saya, ini benar-benar amazing dan incredible. Kalau dari sisi teknis, positifnya adalah laboratorium kami menjadi berkembang. Karena adanya pandemi COVID-19, kami jadi meninjau ulang SOP, protokol, dan dokumentasi di laboratorium kami. Jadi karena COVID-19 ini, lab kami menjadi lebih dewasa dan matang juga.

 

Q: Kak Hana sudah banyak cerita mengenai kehidupan di laboratorium bersama teman-teman rekan kerja, bagaimana dengan kehidupan di rumah? Bagaimana keadaan keluarga para frontliner saat ini?

A: Menurut saya, yang paling terdampak dari perubahan pekerjaan kami sebagai frontliners itu sebetulnya keluarga. Kita kehilangan intimacy time dengan keluarga karena kami harus bekerja overtime, bahkan tidak sedikit dari kami yang tidak pulang ke rumah. Tapi untungnya, semua keluarga kami sangat pengertian dan mendukung pekerjaan kami. Tidak ada dari mereka yang protes atau marah-marah kalau kami pulang larut atau bahkan tidak pulang. Malah terkadang, mereka juga support menyediakan makanan untuk kita di laboratorium.

 

Q: Terakhir sebagai penutup, adakah yang Kak Hana ingin sampaikan untuk kami sebagai publik mewakili para frontliner?

A: Sebetulnya dimata kami, the true frontliners itu kalian. Baru-baru ini ada seorang frontliner berasal dari Cina yang mengatakan sebutan yang lebih tepat untuk kami adalah kita ini benteng pertahanan terakhir kalian. Saya cuma pesan satu hal, apapun posisi atau profesi teman-teman saat ini, tolong lakukan sesuatu yang dapat memberi dampak positif untuk memerangi COVID-19 ini. Contoh, kalau Anda sebagai guru, maka sebarkan konten atau ajarkan ke anak didik kalian bagaimana untuk memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19. Kalau Anda pedagang, maka tolong ikutilah peraturan atau protokol yang sudah disediakan oleh pemerintah. Bahkan kalau Anda orang biasa saja yang tidak memiliki pekerjaan khusus, tolong ikutilah aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Jadi, frontliners-nya itu bukan kami tenaga medis, tapi the true frontliner is you! Jadi lakukanlah bagian kalian. Karena kalian yang kita jaga, dan yang menjaga kesehatan pertama ya kalian sendiri.

Leave a Comment